- Details
- Category: BERITA SEPUTAR PENGADILAN
- Hits: 89
Telusuri Jejak Sejarah Peradilan Agama di Indonesia, Ketua PA Kota Madiun Hadiri Seminar Nasional “MIT Pembuka Tabir Sejarah Eksistensi Peradilan Agama Dalam Reformasi Hukum dan Peradilan di Indonesia“ |23-10-2025|
TELUSURI JEJAK SEJARAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA, KETUA PA KOTA MADIUN HADIRI SEMINAR NASIONAL “MIT PEMBUKA TABIR SEJARAH EKSISTENSI PERADILAN AGAMA DALAM REFORMASI HUKUM DAN PERADILAN DI INDONESIA“

Ketua PA Kota Madiun Dr. H. Sofyan Zefri, S.H.I., M.S.I. menghadiri Seminar Nasional “Mahkamah Islam Tinggi (MIT) Pembuka Tabir Sejarah Eksistensi Peradilan Agama Dalam Reformasi Hukum dan Peradilan di Indonesia“ di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada Kamis, (23/10/2025). Sementara itu, Wakil Ketua PA Kota Madiun Imam Safi’I, S.H.I., M.H. bersama Hakim dan aparatur PA Kota Madiun mengikuti secara daring di Media Center PA Kota Madiun melalui aplikasi zoom meeting.

Seminar Nasional yang merupakan kerjasama antara Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Semarang dengan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) tersebut berlangsung secara hybrid di Auditorium Mohammad Djazman Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Jl. A. Yani, Pabelan, Kartasura, Jawa Tengah dan dihadiri secara langsung oleh Ketua beserta Hakim Tinggi PTA Semarang, Ketuabeserta Panitera dan Sekretaris Pengadilan Agama se- Jawa tengah, Ketua Pengadilan Agama se- Jawa Timur termasuk Ketua PA Kota Madiun Dr. H. Sofyan Zefri, S.H.I., M.S.I., Ketua beserta Panitera dab Sekretaris Pengadilan Agama se- DIY, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama se- Korwil Solo Raya, Akademisi, Politisi, Advokat, LSM dan mahasiswa. Sedangkan dihadir secara daring oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama se- Indonesia, Ketua beserta Wakil Ketua, Hakim dan ASN Pengadilan Agama se- Indonesia termasuk Wakil Ketua PA Kota Madiun Imam Safi’I, S.H.I., M.H. bersama Hakim dan aparatur PA Kota Madiun.

Pada pukul 08.00 WIB dilakukan pembukaan acara yang diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Hymne Mahkamah Agung dilanjutkan pembacaan ayat suci Al-Qur’an dan pembacaan do’a. Dalam Laporan Ketua PTA Semarang Dr. Hj. Rokhanah, S.H., M.H. menyampaikan bahwa penyelenggaraan Seminar Nasional “Mahkamah Islam Tinggi (MIT) Pembuka Tabir Sejarah Eksistensi Peradilan Agama Dalam Reformasi Hukum dan Peradilan di Indonesia” merupakan upaya penting dalam menggali kembali jejak historis keberadaan Mahkamah Islam Tinggi sebagai bagian dari tonggak awal perjalanan Peradilan Agama di Indonesia.
Beliau menegaskan bahwa kegiatan yang merupakan hasil kerja sama antara PTA Semarang dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) ini menjadi momentum strategis untuk memperkuat pemahaman tentang eksistensi dan kontribusi Peradilan Agama dalam sistem hukum nasional. Melalui seminar seperti ini, para akademisi, praktisi, dan aparatur peradilan agama dapat memperkuat pemahaman terhadap peran strategis Peradilan Agama dalam membangun reformasi hukum yang berkeadilan, berintegritas, dan sesuai dengan nilai-nilai Islam serta konstitusi. Dalam kesempatan ini pula, beliau mengapresiasi kolaborasi antara Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan Mahkamah Agung RI dalam penyelenggaraan seminar nasional tersebut, karena menjadi momentum penting untuk menggali, melestarikan dan mendokumentasikan perjalanan sejarah lembaga peradilan agama di Indonesia, sekaligus memperkokoh sinergi antara dunia akademik dan lembaga peradilan dalam memperkuat reformasi hukum berbasis nilai-nilai keislaman dan keadilan sosial yang dimana kegiatan seminar ini tidak hanya berfungsi sebagai ajang ilmiah untuk mengkaji sejarah peradilan agama, tetapi juga menjadi wadah kolaborasi nyata antara kalangan perguruan tinggi dan institusi peradilan agama. Sinergi ini penting karena dunia akademik memiliki peran dalam pengembangan pemikiran, penelitian, dan inovasi hukum Islam, sedangkan lembaga peradilan menjadi pelaksana prinsip-prinsip hukum tersebut dalam praktik nyata. Dengan bekerja sama, keduanya dapat saling melengkapi: akademisi memberikan landasan konseptual dan teoritis, sementara aparatur peradilan memberikan pengalaman praktis dalam penerapan hukum dan keadilan di masyarakat. Melalui kolaborasi seperti ini, diharapkan lahir gagasan dan kebijakan yang memperkuat reformasi hukum nasional, yang tidak hanya berorientasi pada kepastian hukum, tetapi juga berlandaskan nilai-nilai keislaman, moralitas, serta keadilan sosial, sebagaimana menjadi roh dari keberadaan Peradilan Agama di Indonesia.

Selanjutnya sambutan Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Prof. Dr. Harun Joko Prayitno, S.E., M.Hum. yang dilanjutkan dengan Direktur Jenderal Badan peradilan Agama Mahkamah Agung RI Drs. H. Muchlis, S.H., M.H. dalam sambutan sekaligus membuka acara secara resmi. Dalam serangkaian acara ini juga mengusung penandatanganan Memorandum of Degree (MoU) antara Ditjen Badan Peradilan Agama dengan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Acara dilanjutkan dengan Seminar Nasional “Mahkamah Islam Tinggi (MIT) Pembuka Tabir Sejarah Eksistensi Peradilan Agama Dalam Reformasi Hukum dan Peradilan di Indonesia“ bersama Keynote Speaker Ketua Muda Agama Mahkamah Agung RI YM. Dr. H. Yasardin, S.H., M.Hum. menyampaikan bahwa pada Eksistensi Peradilan Agama di Indonesia, bahwa Peradilan Agama hadir dan memainkan perannya dalam tatanan hukum dan sosial kemasyarakatan jauh sebelum republik ini berdiri dan merdeka, yaitu pada masa tumbuh dan berkembangnya Kerajaan Islam. Kehadiran Peradilan Agama: 1) Pengadilan Agama lahir karena keinginan kuat umat Islam menjalankan ajaran agamanya secara utuh dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk di bidang hukum dan syari’ah; 2) Kehadiran Pengadilan Agama menjadi keniscayaan untuk menyelesaikan berbagai problem dan masalah hukum dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam bidang hukum Islam.
Lebih lanjut, beliau menjelaskan Kehadiran Pengadilan Agama merupakan wujud keinginan kuat umat Islam untuk menjalankan ajaran agamanya secara menyeluruh, termasuk dalam bidang hukum dan syariah. Pada masa Kerajaan Islam Mataram, proses hukum Islam dimulai dengan penerapan nilai-nilai Islam di Pengadilan Pradata, yang kemudian berkembang menjadi Pengadilan Surambi lembaga yang berwenang menangani perkara perkawinan, talak, rujuk, waris, dan wakaf serta menjadi cikal bakal lahirnya Pengadilan Agama di Indonesia. Adapun Pendirian Pengadilan Surambi: 1) Pada masa Kerajaan Islam Mataram proses diawali dengan memasukkan unsur hukum dan ajaran Islam ke Pengadilan Pradata, setelah dirasa efektif baru didirikan Pengadila Surambi; 2) Pengadilan Surambi mempunyai kewenangan di bidang perkawinan, talak, rujuk, kewarisan, dan wakaf; 3) Pengadilan Surambi merupakan cikal bakal Pengadilan Agama di Indonesia.
Eksistensi Pengadilan Agama mendapat pengakuan resmi dari Pemerintah Kolonial Belanda melalui Staatsblad 1882 Nomor 152 dan 153, yang ditetapkan pada 1 Agustus 1882, dan hingga kini diperingati sebagai Hari Lahir Peradilan Agama. Namun, kewenangan Pengadilan Agama sempat dibatasi oleh Staatsblad 1937 Nomor 116 yang memindahkan kewenangan perkara waris ke Landraad (Pengadilan Negeri). Menanggapi kebijakan tersebut, umat Islam melakukan penolakan masif, hingga akhirnya Pemerintah Belanda mendirikan Mahkamah Islam Tinggi (Hof voor Islametische Zaken) pada 1 Januari 1938 di Jakarta, yang kemudian dipindahkan ke Surakarta. MIT berfungsi antara lain untuk memutuskan perselisihan kewenangan antar Pengadilan Agama, memperbaiki putusan-putusan yang keliru atau kurang tepat, serta memberi pertimbangan hukum kepada pemerintah bila diminta.
“Kemudian Pasca kemerdekaan, MIT dipindahkan ke Departemen Agama (1946), dan setelah berdirinya Mahkamah Agung (1977), fungsi MIT berubah menjadi pengadilan tingkat banding. Pada tahun 1980, nomenklaturnya resmi berubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA). Dalam perkembangannya, MIT Surakarta menjadi pembuka tabir penataan sistem Peradilan Agama di Indonesia, karena merupakan pengadilan tingkat banding pertama dan cikal bakal lahirnya pengadilan tingkat banding lainnya. Meskipun pada masa itu kewenangan MIT terbatas pada perkara perkawinan, lembaga ini telah berkontribusi dalam mengukuhkan hukum Islam sebagai salah satu hukum yang berlaku di Indonesia, di samping hukum adat dan hukum barat. Memasuki era reformasi, terjadi transformasi penting dengan diterapkannya sistem “one roof system” pada tahun 2004, di mana organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Agama dialihkan dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kewenangan Pengadilan Agama juga semakin luas, antara lain dalam bidang ekonomi syariah, zakat, infaq, dan penyelesaian perkara waris sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.” tutur Ketua Muda Agama Mahkamah Agung RI.
Dalam pemaparannya ini, Dr. H. Yasardin, S.H., M.Hum. juga menegaskan bahwa Pengadilan Agama merupakan satu-satunya institusi penegak hukum Islam di Indonesia yang telah bertransformasi dari Pengadilan Surambi menjadi pengadilan modern berkelas dunia. Selain itu, telah disepakati oleh Pimpinan Mahkamah Agung sebuah PERMA tentang Tata Cara Mengadili Gugatan dan Pelaksanaan Putusan yang Diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai upaya perlindungan konsumen. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa gugatan yang diajukan oleh OJK yang mewakili konsumen terhadap Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah menjadi kewenangan Pengadilan Agama.
Sebagai refleksi, beliau menyampaikan tiga arah penguatan Peradilan Agama ke depan:
- Penguatan Identitas Historis, dengan menempatkan MIT sebagai bagian integral dari sejarah pembangunan hukum Indonesia.
- Pembaruan Berbasis Nilai dan Teknologi, agar Pengadilan Agama mampu beradaptasi terhadap perkembangan zaman melalui digitalisasi pelayanan, transparansi proses peradilan, dan keberpihakan pada keadilan substantif.
- Sinergitas Lintas Lembaga dan Mazhab Pemikiran, untuk membangun sistem hukum yang inklusif, integratif, dan selaras antara hukum Islam, hukum nasional, dan nilai-nilai universal hak asasi manusia.
Memasuki pemaparan materi, selaku Narasumber, Ketua PTA Surabaya Dr. H. Zuklarnain, S.H., M.H. menjelaskan tentang “Mahkamah Islam Tinggi (MIT) Antara Perspektif dan Prospektif”. Dalam paparannya, Dr. H. Zulkarnain, S.H., M.H. menjelaskan bahwa Mahkamah Islam Tinggi (MIT) memiliki dimensi historis dan prospektif yang penting dalam perkembangan sistem peradilan agama di Indonesia.
- Kehadiran MIT dalam Perspektif Belanda. MIT dibentuk sebagai sarana mengajukan upaya hukum akibat banyaknya pencari keadilan yang tidak puas terhadap putusan Pengadilan Agama, yang saat itu dipicu oleh pengangkatan qadhi yang kurang kompeten oleh pemerintah kolonial. MIT juga dijadikan sebagai peredam kemarahan umat Islam setelah dihapuskannya kewenangan Pengadilan Agama dalam perkara harta benda (kewarisan dan wakaf) serta eksekusi. Penetapan MIT oleh Belanda merupakan bentuk pengakuan terhadap lembaga yang sesungguhnya sudah ada dan semestinya diakui keberadaannya, sebagaimana halnya dengan Pengadilan Agama.
- Kehadiran MIT dalam Perspektif Umat Islam. Dari pandangan umat Islam, MIT merupakan wujud kesinambungan tradisi peradilan Islam yang mengikuti sunnah Nabi dan sistem peradilan pada masa kesultanan. Sebagaimana dicontohkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib dalam praktik peradilan di Yaman, prinsip keadilan dan musyawarah dalam menyelesaikan sengketa menjadi dasar pembentukan lembaga peradilan Islam.
- Ciri Khas Kerajaan Islam. Ciri utama kerajaan Islam antara lain adanya jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama, sistem catur gatra tunggal (politik, agama, ekonomi, sosial), serta keberadaan Peradilan Surambi yang berlandaskan ajaran Islam. Sultan atau Sunan juga menggunakan gelar “Sayidin Panatagama” dan mendirikan masjid agung di lingkungan keraton sebagai simbol otoritas keagamaan.
- Struktur Kepenghuluan dalam Kesultanan: Tingkat pusat- Qadhi Agung (Penghulu Ageng); Tingkat kabupaten - Qadhi (Penghulu Seda); Tingkat kecamatan - Penghulu Naib; Tingkat desa - Kayim, Lebai, Modin, Amil, dan Marbot.
- Sistem Peradilan di Kesultanan Nusantara. Di Aceh (Kesultanan Samudra Pasai), pengadilan tingkat pertama dipimpin keucik, banding kepada uleebalang, kemudian panglima sagi, dan kasasi kepada Sultan melalui Mahkamah Agung yang terdiri atas Malikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandhara, dan Faqih (ulama). Di Kerajaan Demak, sistem peradilan meliputi: 1) Peradilan Pradata – dipimpin raja, menangani perkara besar; 2) Peradilan Balemangu – dipimpin patih, menangani perkara menengah; 3) Peradilan Surambi – dipimpin penghulu, menangani perkara keagamaan; 4) Jaksa dan Adipati – membantu pelaksanaan peradilan.
- Perspektif H. Zaini Ahmad Noeh. Menurut H. Zaini Ahmad Noeh (Kepala Biro Peradilan Agama 1969–1970), MIT dimaksudkan sebagai pengadilan tertinggi seperti Mahkamah Agung, walau hanya terdiri dari dua tingkat. Ia menyebut bahwa Belanda berusaha meniru sistem Mahkamah Agung dalam struktur MIT. Zaini juga menyoroti kecemburuan pejabat Belanda terhadap Pengadilan Agama terkait perkara waris, karena nilai perkara dianggap setara dengan gaji residen Belanda. Hal ini memperkuat alasan penghapusan kewenangan Pengadilan Agama dalam perkara harta melalui Landraad.
- Perkembangan Peradilan Islam di Indonesia. Peradilan Islam mengalami evolusi dari tahkim (musyawarah), baiat ahlul halli wal aqdi, peradilan adat dan swapraja, hingga peradilan negara. Pada masa kolonial, muncul istilah Priesterraad, Raad Agama, dan Penghoeloegrecht. Peradilan Islam yang semula bersifat negara berubah menjadi peradilan adat akibat kebijakan kolonial.
- Sistem Pemerintahan Kesultanan. Tingkat pemerintahan terdiri dari: Desa - Kepala Desa dengan perangkat amil, modin, kaum, dan lebai; Kecamatan - Camat dengan penghulu naib; Kabupaten - Bupati/Patih dengan penghulu; Pusat - Raja atau Sultan bergelar Senopati Ing Ngalogo Sayidin Panotogomo Khalifatullah.
- Prospektif Kehadiran MIT. Dalam konteks kolonial, Belanda memandang Pengadilan Agama sebagai ancaman sehingga mendirikan MIT untuk meredam pengaruhnya. Belanda juga berupaya menghapus sistem kesultanan dan lembaga musyawarah melalui: 1) Unifikasi dan konkordansi hukum; 2) Pertentangan antara hukum Islam dan hukum adat; 3) Penciptaan citra negatif terhadap hukum Islam. Sebaliknya, bagi umat Islam, Pengadilan Agama menjadi pemersatu bangsa dan umat, warisan peradaban Islam, serta alat perjuangan umat Islam.\
- Perkembangan dan Transformasi MIT pada Maret 1937: MIT Jakarta berdiri sebagai puncak Pengadilan Agama (S.1937 No.610). Pada 2 Januari 1946: MIT Surakarta dibentuk berdasarkan SK Menteri Kehakiman Pemerintahan Federal No.T2/1946, dan MIT tandingan di Surabaya. Kemudian 16 Desember 1976: Berdasarkan SK Menteri Agama No.71/1976, MIT bertransformasi menjadi pengadilan banding karena meningkatnya jumlah perkara pasca UU No.1 Tahun 1974. Melalui Kepmenag No.6 Tahun 1947, dilakukan pemisahan antara Penghulu Kabupaten (PPN dan urusan kepenghuluan) dengan Penghulu Hakim (Ketua PA sebagai Qadli Syar’i). Selanjutnya dibentuk Mahkamah Syariah Provinsi di berbagai wilayah Indonesia melalui Penetapan Menteri Agama Tahun 1957–1958, antara lain di Banda Aceh, Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, dan Ujung Pandang. Transformasi MIT menjadi pengadilan banding ditegaskan melalui SEMA No. MA/Pemb/0921/1977 dan PERMA No.1 Tahun 1977 tentang Hukum Acara Kasasi bagi perkara perdata dan pidana di Pengadilan Agama serta Pengadilan Militer.
- Dampak Penjajahan terhadap Peradilan Agama. Pada masa kesultanan, Pengadilan Agama merupakan lembaga negara yang berperan sebagai pemutus perkara, pemberi fatwa, dan pelaksana hukum Islam. Namun, pada masa kolonial Belanda, muncul politik hukum yang memarginalkan lembaga ini melalui teori receptie, asas konkordansi, dan politik devide et impera, sehingga Pengadilan Agama menjadi quasi peradilan di bawah Landraad dengan kewenangan yang terbatas. Pertentangan sistem hukum juga terlihat antara hukum Islam, hukum adat, dan hukum Eropa, namun Pengadilan Agama tetap menjadi simbol perlawanan hukum Islam terhadap kolonialisme, sekaligus menjadi dasar pembentukan peradilan modern pasca kemerdekaan.
Diakhir pemaparan Ketua PTA Surabaya Drs. H. Zulkarnain, S.H., M.H. menegaskan bahwa Mahkamah Islam Tinggi (MIT) memiliki nilai historis, yuridis, dan ideologis yang kuat sebagai bagian dari perjalanan Peradilan Agama di Indonesia. MIT tidak hanya simbol peradilan masa lalu, tetapi juga fondasi bagi eksistensi dan prospek penguatan hukum Islam di masa depan.
Dalam seminar ini juga dilakukan pembahasan“ Bedah Buku berjudul “Peran dan Kontribusi Mahkamah Islam Tinggi (MITS) dalam Pembaharuan Hukum Islam dan Peradilan Agama” oleh Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, B.A., S.H., M.A., M.M. Buku ini menyoroti dua perkara penting dari putusan MIT: 1) Kasus Poligami dan Talak Tiga (PA Garut, 1946). Kasus ini menyangkut penjatuhan talak tiga sekaligus, yang memunculkan perbedaan antara putusan PA tingkat pertama dan MIT. Prof. Amin Suma menilai seharusnya dijelaskan ‘illah al-hukm-nya karena perdebatan mengenai talak tiga sudah berlangsung sejak masa Khalifah Umar bin Khattab hingga kini; 2) Kasus Kafaah (perkawinan antar-etnis Arab dan Jawa) MIT memutuskan bahwa perkawinan tersebut sah meskipun tidak sekufu dari sisi etnis. Putusan ini dinilai tepat dan sejalan dengan UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, dan Konvensi CEDAW (UU No. 7/1984).
Selain itu, MIT juga membatalkan perkara hadhanah karena dianggap bukan kewenangan PA saat itu, menunjukkan konsistensi MIT terhadap peraturan perundangan yang berlaku. Prof. Amin Suma menilai analisis hukum akan lebih menarik bila dikaitkan langsung dengan sumber otentik hukum Islam, yaitu Al-Qur’an (An-Nisa: 29 dan 58) serta hadis “innama al-bay‘u ‘an taradhin”, yang menjunjung asas rela sama rela dalam akad dan kebebasan berkontrak.
Seminar Nasional “Mahkamah Islam Tinggi (MIT) Pembuka Tabir Sejarah Eksistensi Peradilan Agama Dalam Reformasi Hukum dan Peradilan di Indonesia“ di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) diakhiri dengan diskusi tanya jawab.
Kehadiran PA Kota Madiun dalam kegiatan ini merupakan bentuk dukungan terhadap upaya penguatan identitas historis dan eksistensi Peradilan Agama di Indonesia, sekaligus wadah untuk memperdalam pemahaman mengenai peran strategis Mahkamah Islam Tinggi (MIT) sebagai cikal bakal lembaga peradilan agama modern yang kini berada di bawah naungan Mahkamah Agung RI. Melalui kegiatan ini, para peserta mendapatkan pengetahuan mendalam mengenai sejarah, dinamika, dan transformasi Peradilan Agama, termasuk peran MIT dalam membangun reformasi hukum Islam di Indonesia. Kehadiran PA Kota Madiun menjadi wujud komitmen aparatur peradilan dalam meningkatkan wawasan, integritas, dan profesionalisme, sejalan dengan semangat Mahkamah Agung dalam mewujudkan peradilan yang agung, modern, dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.
