- Details
- Category: BERITA SEPUTAR PENGADILAN
- Hits: 147
Perkuat Sinergitas Pengadilan Agama Korwil Madiun Melalui Diskusi Hukum Bersama Ketua PTA Surabaya di PA Kota Madiun |24-10-2025|
PERKUAT SINERGITAS PENGADILAN AGAMA KORWIL MADIUN MELALUI DISKUSI HUKUM BERSAMA KETUA PTA SURABAYA DI PA KOTA MADIUN

Pengadilan Agama Koordinator Wilayah Madiun gelar Diskusi Hukum di Pengadilan Agama Kota Madiun pada Jum’at, (24/10/2025). Diskusi Hukum ini menghadirkan Ketua Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Surabaya Dr. H. Zulkarnain, S.H., M.H. yang didampingi oleh Hakim Tinggi Drs. Zainal Aripin, S.H., M.Hum.dan Sekretaris PTA Surabaya Dr. Naffi, S.Ag., M.H. yang disambut hangat oleh Ketua Pengadilan Agama Kota Madiun Dr. H. Sofyan Zefri, S.H.I., M.S.I. dengan didampingi Wakil Ketua Imam Safi’I, S.H.I., M.H. beserta Panitera Lucky Aziz Hakim, S.H.I., M.H. dan Sekretaris Agus Widyanto, S.H.I. beserta jajaran aparatur Pengadilan Agama Kota Madiun.



Bertempat di Aula Pengadilan Agama Kota Madiun pukul 14.00 WIB, Diskusi Hukum ini selain dihadiri oleh Ketua, Wakil Ketua, Hakim Panitera dan Sekretaris Pengadilan Agama Kota Madiun, Ketua beserta Wakil Ketua, Panitera dan Sekretaris Pengadilan Agama Koordinator Wilayah Madiun, yaitu: Pengadilan Agama Kota Madiun, Pengadilan Agama Kabupaten Madiun, Pengadilan Agama Ponorogo, Pengadilan Agama Ngawi, Pengadilan Agama Magetan dan Pengadilan Agama Pacitan juga turut dihadiri oleh seluruh aparatur Pengadilan Agama Kota Madiun.

Dalam sambutannya sekaligus membuka kegiatan, Ketua Pengadilan Agama Kota Madiun, Dr. H. Sofyan Zefri, S.H.I., M.S.I., menyampaikan ucapan selamat datang kepada Ketua PTA Surabaya beserta jajaran. Ia menuturkan bahwa kota Madiun memiliki dinamika hukum dan perkara yang sangat beragam, sehingga kegiatan diskusi hukum seperti ini menjadi wadah penting untuk mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi sehari-hari di lingkungan peradilan agama.
Sementara itu, Ketua PA Kabupaten Madiun selaku Koordinator Wilayah menyampaikan bahwa kegiatan diskusi hukum ini telah disepakati untuk menjadi agenda rutin sebagai bentuk koordinasi dan penguatan kompetensi antar satuan kerja di wilayah Madiun. Ia juga menyampaikan harapan agar Ketua PTA Surabaya dapat memberikan pencerahan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan teknis yustisial maupun administratif di masing-masing satuan kerja.

Kegiatan dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Hakim Tinggi PTA Surabaya, Drs. Zainal Arifin, S.H., M.Hum., yang mengajak para peserta berdiskusi secara interaktif mengenai berbagai isu aktual dalam penanganan perkara melalui e-Court. Beberapa pokok bahasan yang dikupas antara lain: Permasalahan court calendar sebelum mediasi, penyusunan Berita Acara Sidang (BAS), serta penerapan bukti elektronik sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE); Penilaian bukti surat, baik otentik maupun di bawah tangan, dan syarat formil-informil dalam pembuktian; dan kajian terhadap kesepakatan mediasi, misalnya dalam perkara hak asuh anak, dengan meninjau kembali ketentuan Pasal 26 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2016, serta sejauh mana kesepakatan mediasi tersebut bersifat mengikat terhadap hakim dalam menjatuhkan putusan. Dalam kesempatan ini pula beliau menekankan pentingnya menjaga kualitas putusan dengan mempertimbangkan kejelasan pertimbangan hukum, konsistensi amar, dan relevansi dengan alat bukti yang diajukan.

Dalam sesi pembinaan bidang kesekretariatan, Sekretaris PTA Surabaya, Dr. Naffi, S.Ag., M.H., menyampaikan pentingnya peningkatan kualitas pelayanan publik di seluruh Pengadilan Agama wilayah Madiun. Ia menekankan penguatan sarana dan prasarana (sarpras), optimalisasi meja PTSP, serta pelaksanaan sidang keliling secara rutin dan efektif.
Sekretaris PTA Surabaya tersebut juga menegaskan bahwa pengelolaan anggaran harus dilaksanakan secara akuntabel dan transparan, dengan komunikasi terbuka antara Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pimpinan Pengadilan. Dalam kesempatan ini pula beliau memaparkan bahwa capaian kinerja keuangan PA Kota Madiun menunjukkan progres positif, dengan realisasi mencapai 85% pada triwulan pertama dan 89% pada triwulan ketiga tahun berjalan. Dalam aspek kepegawaian, dilakukan pembinaan mengenai perencanaan dan pemetaan kinerja pegawai, peningkatan motivasi kerja, serta pengawasan berkala (controlling) untuk menjaga efektivitas kerja dan kualitas pelayanan publik yang prima.
Pada Diskusi Hukum Pengadilan Agama se-Koordinator Wilayah Madiun yang diselenggarakan di Pengadilan Agama Kota Madiun pada tanggal 24 Oktober 2025, Ketua PTA Surabaya, Dr. H. Zulkarnain, S.H., M.H. menyampaikan pentingnya memahami substansi/esensi hukum dan kualitas putusan bagi para hakim, khususnya di lingkup peradilan agama. Diantaranya adalah tentang bentuk hukum dalam Islam yang dikelompokkan berdasarkan tujuan dan cakupan pemberlakuannya menjadi 2 (dua) dimensi utama, yaitu:
1. Diyanatan (دِيَانَةً) atau Hukm ad-Diyani yang berdasarkan hukum tekstual (law in book)
Hukum ini bersifat tetap dan pasti (qat'i) serta merujuk pada syariat yang merupakan ketentuan-ketentuan normatif yang diyakini berasal langsung dari Allah SWT (Al-Qur'an dan Sunnah). Diyanatan menyoroti aspek moral dan spiritual dari hukum. Pelaksanaan hukum ini didasarkan pada hubungan vertikal, kesadaran pribadi, tanggung jawab batin, dan keikhlasan kepada Allah SWT, tanpa adanya keterpaksaan atau intervensi pihak luar. Tujuannya untuk menumbuhkan tanggung jawab batin (akuntabilitas kepada Tuhan) dan keikhlasan dalam menjalankan ajaran Islam, menjamin hubungan yang baik antara manusia dengan Allah SWT (hablun minallah). Contoh: Seseorang yang memberikan kesaksian palsu, maka orang tersebut tetap berdosa (secara diyanatan) meskipun keterangannya diterima oleh hakim.
2. Qadha’an (قَضَاءً) atau Hukm al-Qadha’i, yaitu hukum terapan (law in action) berdasarkan legal-yuridis.
Qadha’an mengacu pada pelaksanaan hukum Islam melalui jalur formal, dan institusi pengadilan (agama) melalui putusan hakim/qadhi yang mengikat. Konsep ini berlawanan dengan diyanatan (aspek moral/spiritual) karena fokusnya adalah pada penegakan hukum di dunia oleh otoritas negara. Keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga qadha’an memiliki kekuatan eksekutorial (dapat dipaksakan) oleh negara dengan fokus utama memastikan ketertiban sosial dan penegakan keadilan di ranah publik, terlepas dari kesadaran spiritual pribadi (diyanatan) individu yang terlibat. Jadi qadha’an terkait dengan hubungan antar manusia (hablun minannas). Contoh: Seseorang dapat membuktikan bahwa ia telah membayar utang, meskipun sebenarnya belum melunasi utangnya, sehingga lepas dari hukuman hakim (secara qadha’an), tapi orang tersebut sejatinya masih mempunyai tanggung jawab kepada pemberi piutang dan Allah SWT.
Jadi, sebuah perkara bisa sah secara qadha'an (karena bukti formal), tetapi tidak sah secara diyanatan (jika pihak yang menang berbohong). Sebaliknya, sebuah perkara bisa sah diyanatan, tetapi tidak dapat ditegakkan secara qadha'an jika tidak ada bukti formal di pengadilan.
Selanjutnya istilah-istilah yang berkaitan dengan hukum: kerangka/landasan putusan, asas-asas hukum dan istilah lain dalam konteks hukum, pada dasarnya dapat mengadopsi istilah-istlah yang ada dalam hukum Islam, fikih/ushul fikih. Seperti:
1. Duduk Perkara (Hukum Wadh'i).
Istilah "Duduk Perkara" dapat dipadankan dengan hukum Wadh’i (وَضْعِي) yang merupakan ketetapan-ketetapan dari syariat yang berfungsi sebagai penghubung, sebab, syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah (keringanan), atau 'azimah (ketetapan asal) bagi berlakunya hukum taklifi (tuntutan/kewajiban). Jadi hukum wadh’i sebagai penanda dan menjelaskan kondisi (sebab, syarat, penghalang) berlakunya hukum taklifi.
2. Pertimbangan Hukum (Hukum Taklifi).
Istilah "Pertimbangan Hukum" dapat dipadankan dengan Hukum Taklifi (تَكْلِيفِي). Hukum taklifi adalah hukum syariat yang berisi tuntutan (perintah, larangan, atau pilihan) dari syari' (pembuat hukum, yakni Allah SWT) kepada mukallaf (orang yang dibebani kewajiban). Jenis-jenis: Hukum taklifi terdiri dari wajib, mandub (sunnah/dianjurkan), mubah (boleh), makruh (dibenci), dan haram (dilarang). Dalam konteks putusan hakim, pertimbangan hukum adalah proses di mana hakim menerapkan tuntutan hukum ini (hukum taklifi) pada duduk perkara/fakta yang sudah ditetapkan (wadh'i).
3. Diktum atau Amar Putusan Dalam Istilah fikih atau ushul fikih,
macam-macam amar putusan sejatinya juda dapat ditemukan padanan katanya dengan istitah baku yang selama ini dipakai dalam lingkup peradilan agama, seperti: utusan deklarator sepadan dengan Istbat (إثْبَات) artinya: penetapan/penegasan, Kashf (كَشْف) artinya: Menyingkap, mengungkapkan, atau menjelaskan, Hukm bil-Istishāb (الحكم بالاستصحاب) artinya: putusan berdasarkan kepastian status hukum sebelumnya. Putusan Konstitutif sepadan dengan al-hukm al-Insyā'i (الحكم الإنشائي) artinya: putusan yang bersifat menciptakan atau mewujudkan. Putusan kondemnator sepadan dengan al-Iltizām (الإلْتِزَام) artinya: Kewajiban atau komitmen, al-Dhamān (الضَّمَان) artinya: Tanggungan atau ganti rugi, Hukm bil-Adā' (الحكم بالأداء) artinya : putusan untuk melaksanakan (pembayaran/penunaian) dan Gharāmah (غَرَامَة) artinya: denda atau sanksi finansial
4. Pertimbangan/landasan pengambilan putusan
Konsep landasan/pertimbangan putusan non yuridis, yaitu: filosofis, sosiologis, dan kemanfaatan dalam hukum modern memiliki padanan yang sangat kuat dan terintegrasi dalam kerangka hukum Islam, fikih, dan usul fikih
- Filosofis: Maqāṣid asy-Syarī'ah (مقاصد الشريعة) adalah landasan yang merujuk pada tujuan fundamental di balik penetapan hukum, al-'Adlu wa al-Iḥsān (الْعَدْلُ وَالْإِحْسَانُ) artinya keadilan dan kebaikan yang maksimal, yaitu bahwa putusan harus mencerminkan keadilan tertinggi bukan sekadar keadilan prosedural yang berdasarkan ketentuan-ketentuan syariat
- Sosiologis: al-'Urf (الْعُرْفُ) artinya kebiasaan/adat/tradisi, al-Wāqi' (الْوَاقِعُ) artinya realitas, Taḥqīq al-Maṣāliḥ (تَحْقِيْقُ الْمَصَالِحِ) artinya merealisasikan kemaslahatan, yaitu pertimbangan terhadap realitas, kebiasaan, dan kondisi sosial masyarakat saat hukum diterapkan. Hal tersebut berdasarkan hukum Islam/fikih yang lentur sesuai kebutuhan ruang/tempat dan waktu. Sebagaimana dalam kaidah : "Adat kebiasaan itu dapat dijadikan dasar hukum" (al-'Ādah Muḥakkamah)
- Kemanfaatan: Maṣlaḥah (مَصْلَحَةٌ) artinya manfaat/kemaslahatan, Istihsan (استحسان) artinya menganggap baik, mencari yang lebih baik. yaitu prinsip bahwa semua hukum ditetapkan untuk mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat yang dapat dilakukan secara qodho’i.
5. Asas-asas Hukum
a. Lex Superior Derogat Legi Inferiori
Asas ini berarti "Peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah”. Dalam konteks ushul fiqh (metodologi hukum Islam) asas ini disebut Tarjih (الترجيح). Definisi tarjih secara etimologi berarti "menguatkan," "mengunggulkan," atau "memberi bobot lebih. Sedangkan secara Terminologi merupakan "Menguatkan salah satu dari dua indikasi dalil yang bersifat zanni (dugaan kuat) atas indikasi dalil lainnya, namun tidak mungkin untuk dikompromikan (dijamak) atau dibatalkan (nasakh), agar dalil yang kuat itulah yang diamalkan." Tarjih adalah salah satu metode penting yang digunakan oleh seorang mujtahid untuk menyelesaikan pertentangan yang tampak terjadi di antara dalil-dalil syar'i. Situasi yang memerlukan tarjih dilakukan ketika seorang mujtahid berhadapan dengan dalil-dalil yang tampak kontradiktif, dan telah menempuh dua langkah sebelumnya, yaitu: al-Jam'u wa at-Taufiq (penggabungan/kompromi): Mencari titik temu atau interpretasi yang memungkinkan kedua dalil tetap diamalkan. Jika ini tidak mungkin, lanjut ke langkah kedua, an-Nasikh wal-Mansukh (pembatalan): Menentukan mana dalil yang datang lebih awal (mansukh) dan mana yang datang kemudian (nasikh) untuk membatalkan yang pertama. Jika urutan waktu tidak diketahui atau tidak ada pembatalan yang jelas, lanjut ke langkah ketiga yaitu at-Tarjih (penguatan/prioritas): Memilih dan menguatkan salah satu dalil yang memiliki keunggulan (rajih) dari segi kekuatan sanad, matan, makna, atau aspek lainnya, dan meninggalkan dalil yang dilemahkan (marjuh). Selanjutnya syarat utama tarjih hanya berlaku pada dalil yang setara (mutamatsilain): Dalil-dalil tersebut harus memiliki derajat yang sama (misalnya, hadis ahad dengan hadis ahad). Jika derajatnya berbeda (misalnya, hadis mutawatir dengan ahad), maka yang lebih kuat (mutawatir) otomatis didahulukan tanpa perlu proses tarjih. Dalil yang Bersifat zhanni: dimana tarjih hanya dilakukan pada dalil-dalil yang tingkat kepastiannya (dalalah) masih berupa zhanni, seperti hadis ahad atau qiyas. Dalil yang qath'i (pasti) tidak perlu ditarjih.
b. Lex Specialis Derogat Legi Generali
Asas ini menyatakan "Peraturan yang bersifat khusus (spesialis) mengesampingkan peraturan yang bersifat umum (generalis)". Dalam kaidah ushul fikih dikenal dengan istilah Takhshis (التَّخْصِيصُ) Adalah prinsip bahwa ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum. Kaidah ini digunakan para ulama untuk menafsirkan dan menyelaraskan dalil-dalil syariat yang terlihat bertentangan, yaitu ketika ada dua nash (teks Al-Qur'an atau Hadis) yang mengatur masalah yang sama, tetapi dengan cakupan yang berbeda. Dalam konsep takhsis dalil 'am (عام) merupakan dalil yang bersifat umum, berlaku untuk semua jenis dan individu yang tercakup dalam pengertiannya, sedangkan dalil khas (خاص) adalah dalil yang bersifat khusus, membatasi cakupan dalil yang bersifat 'am (عام). Takhshis (تخصيص) merupakan proses mengkhususkan atau membatasi pengertian dalil yang bersifat 'am (umum) dengan dalil lain yang bersifat khas (khusus). Dengan kata lain, dalil khusus tersebut mengecualikan sebagian dari cakupan dalil umum.
c. Lex Posterior Derogat Legi Priori
Bahwa "hukum baru menghapus hukum lama" dalam kaidah ushul fikih dikenal dengan istilah Nasakh (نَسْخٌ). Nasakh secara istilah dalam ushul fikih yang berarti "Pengangkatan (penghapusan) hukum syara' yang terdahulu dengan dalil syara' yang datang kemudian”. Berikut poin-poin penting terkait Nasakh: Nasikh (النَاسِخُ) adalah dalil (hukum syara') yang datang kemudian dan berfungsi menghapus hukum yang lama. Mansukh (المَنسُوخُ) hukum syara' yang dihapus oleh dalil yang datang belakangan. Hanya berlaku pada hukum syara' (perintah atau larangan), dan tidak berlaku pada Hukum yang bersifat akidah (keimanan). Tujuan nasakh untuk melihat kemaslahatan (kebaikan) yang lebih besar bagi umat, menunjukkan evolusi (perkembangan) syariat hingga mencapai kesempurnaan, atau untuk meringankan beban (taklif) pada mukallaf. Adapun syarat utama nasakh adalah dalil yang menghapus (nasikh) harus datang setelah dalil yang dihapus (mansukh), dan kedua hukum tersebut tidak mungkin dikompromikan atau disatukan keberlakuannya.
Sejalan dengan hal tersebut, Ketua PTA Surabaya Dr. H. Zulkarnain, S.H., M.H. berharap agar para Hakim membangun mindset yang aktif dan solutif, dengan kecermatan dalam menganalisis fakta hukum, menafsirkan peraturan perundang-undangan, serta menyusun amar putusan yang tepat dan berkeadilan. Ketua PTA Surabaya menekankan bahwa seorang hakim tidak hanya berperan sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai pencari keadilan (justice seeker) yang harus mampu menggali nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat (living law).
Menutup kegiatan, Ketua PTA Surabaya berpesan agar seluruh aparatur Pengadilan Agama se-Koordinator Wilayah Madiun senantiasa memperhatikan prinsip quality control, updating, verifikasi, validasi, dan konsistensi dalam setiap tahapan penyelesaian perkara. Langkah tersebut merupakan wujud komitmen bersama dalam mewujudkan peradilan agama yang profesional, akuntabel, dan responsif terhadap perkembangan hukum serta tuntutan pelayanan publik.

Melalui kegiatan Diskusi Hukum Koordinator Wilayah Madiun ini, diharapkan tercipta sinergi yang lebih kuat antar Pengadilan Agama di Lingkungan PTA Surabaya, sehingga pelayanan hukum kepada masyarakat dapat berjalan semakin profesional, transparan, dan berintegritas, sejalan dengan visi Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk mewujudkan badan peradilan yang agung.
